Pasca pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, hingga terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, perkembangan politik di tanah air semakin memperlihatkan kondisi yang tidak kondusif. Sejumlah persoalan krusial dalam penegakan hukum tampaknya menjadi pemicu kondisi tersebut.
Itulah yang tergambar dari aksi demonstrasi massa yang memanfaatkan momentum program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, 28 Januari lalu. Seperti halnya dilontarkan kelompok pendemo yang berasal dari Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Indonesia. Dalam orasi dan pernyataan sikapnya, mereka mengungkapkan alasan ketidakpuasan mereka atas kinerja KIB II, antaralain disebabkan munculnya skenario kriminalisasi KPK, terjadinya berbagai ketidakadilan penegak hukum terhadap rakyat kecil, berkeliarannya para mafia peradilan atau mafia hukum, dan paling menonjol adanya permasalahan kasus century hingga perlu terbentuk pansus angket DPR.
Terakhir, adanya perjanjian perdagangan bebas antara Asean dan China. “Dengan perjanjian ini akan dapat membuat Indonesia kebanjiran produk China yang mengakibatkan para pengrajin dan pengusaha produk dalam negeri gulung tikar. Akibatnya lagi, dapat menimbulkan gelombang PHK,” kata seorang mahasiswa dalam oratornya di atas mobil.
Hal serupa juga dilontarkan kelompok pendemo yang menamakan dirinya Front Perjuangan Rakyat. Kata mereka, pemberantasan mafia dan penegakan supremasi hukum menempati urutan pertama dalam 15 program utama 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, tapi ironisnya, kasus bailout Bank Century yang merampok uang rakyat Rp6,7 triliun, sampai saat ini belum terselesaikan. Pemerintah lebih menyelamatkan pengusaha besar daripada rakyat yang hidup dengan upah rendah, menganggur, terancam kehilangan tanah serta sulit mendapatkan pendidikan.
Bahkan, di tengah berbagai kasus dan skandal memalukan yang belum selesai itu, pemerintah dengan seenaknya memberikan fasilitas mobil mewah seharga Rp1,3 miliar bagi 150 pejabat tinggi. “Padahal, ratusan sekolah rusak dan jutaan guru di Indonesia membutuhkan bantuan nyata. Dari 2,7 juta guru di Indonesia, baru 500 ribu yang telah mendapatkan tunjangan,” kata koordinator FPR, Rudi HB Daman, kepada Jurnal Berdaya.
Rudi juga memaparkan, program kelima dari 15 program utama yakni tentang peningkatan produksi dan ketahanan pangan hanyalah keinginan pemerintah untuk meningkatkan ekspor bahan mentah bagi industri imperialis. Karena kenyataannya, pemerintah mentargetkan 10 juta hektar lebih untuk perkebunan kelapa sawit. “Target ini adalah ancaman besar bagi perampasan tanah petani. Sebab, pemerintah lebih mementingkan membuka perkebunan skala besar daripada petani. Rakyat dipaksa menjadi buruh tani di tanah yang menjadi hak-nya. Apalagi, saat ini sengketa agraria juga belum terselesaikan,” terangnya.
Stabilitas Ekonomi
Beruntung, kondisi politik di tanah air yang dirasakan kurang kondusif itu belum menyentuh dan berpengaruh terhadap sektor ekonomi. Stabilitas ekonomi nasional tetap terjaga. Seperti halnya dikemukakan Menteri Perekonomian Hatta Rajasa dalam jumpa pers program 100 hari KIB II. Hatta mengungkapkan, sejumlah data ekonomi dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa momentum perbaikan ekonomi masih dapat dijaga. Misalnya, angka penjualan mobil yang sudah memasuki daerah positif lagi, bahkan mencapai sekitar 35,6 persen. “Demikian juga dengan angka penjualan semen yang dalam tiga bulan terakhir mencapai 17,7 persen,” tuturnya.
Kondisi ekonomi yang masih bisa dijaga dan tidak terpengaruh gonjang-ganjing politik diakui pula oleh Umar Juoro. Pengamat ekonomi ini mengakui, meski sulit mengukur keberhasilan pemerintah hanya dalam waktu 100 hari, namun tim ekonomi KIB II telah mampu menjawab sejumlah persoalan. Bahkan, ia optimis melihat kondisi perekonomian ke depan. “Di tahun 2010 ini, saya melihat banyak hal lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Terbukti, stabilitas ekonomi masih terjaga dan ekspor masih ada recoverynya. Ini bukti suhu politik tidak goyahkan ekonomi nasional,” ujarnya seperti dikutip antara seraya meminta dua hal penting harus segera dilakukan pemerintah dalam waktu dekat, yakni pemberantasan korupsi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Selanjutnya, Umar menekankan, jika sejumlah persoalan yang belakangan muncul seperti kasus KPK-Polri, Bank Century, dan lain-lain bisa cepat selesai, maka itu akan berdampak lebih positif terhadap dunia politik, sosial, dan perekonomian nasional. “Meski tetap bergantung langkah-langkah apa saja yang dilakukan pemerintah sehingga bisa konsisten dalam setiap program yang dijalankan dan langsung dirasakan, baik oleh pelaku ekonomi maupun masyarakat luas,” tambahnya.
Cepat selesainya persoalan politik juga diharapkan kalangan pelaku usaha dan ekonomi nasional, karena bisa mempengaruhi kondisi perekonomian nasional. “Persoalan politik ini harus cepat selesai karena kita harus terus menjalankan program-program pembangunan. Kita ingin kestabilan ekonomi nasional. Kita ingin, jangan sampai gejolak politik malah mengorbankan masyarakat,” kata Silmy Karim, Ketua II Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). sis
Minggu, 04 April 2010
Jumat, 02 April 2010
Restorative Justice untuk Perlindungan Hukum Anak
Perlindungan terhadap hak-hak anak di Indonesia masih memprihatinkan. Butuh koordinasi yang lebih serius antar aparat penegak hukum untuk melindungi mereka. Demikian persoalan yang mencuat dari sosialisasi UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang baru, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Anggota Pokja Penanganan Anak Berhadapan Hukum, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Hj DS Dewi SH MH, dalam acara sosialisasi UU 35 tahun 2009 itu, mengemukakan, hingga saat ini dalam berbagai kasus hukum, masih banyak anak Indonesia yang tidak terlindungi dan terabaikan hak-haknya.
Ia mencontohkan, dalam kasus anak pemulung yang terlibat penjualan narkoba. Bisa jadi, anak yang masih berusia sekolah itu justru menjadi korban dari sindikat penjualan narkoba, bukan pelaku murni. Karenanya, tidak pantas untuk diputus dengan hukum berat. Oleh karena itu, menurutnya, dalam menyikapi UU no 35 tentang narkotika yang baru, perlu sekali adanya rapat koordinasi antara polisi, jaksa dan hakim. “Ini solusi kita mempunyai penafsiran yang sama terhadap implementasi UU No 35 tahun 2009 secara terpadu,” ujar Dewi yang juga seorang hakim seraya menambahkan berbeda halnya kalau anak itu sudah berusia, misalnya 18 tahun. “Pantas dihukum berat kalau terbukti sebagai bandar,” tambahnya.
Dari contoh kasus tersebut, khususnya menyangkut anak berhadapan hukum, dia menginginkan antara penegak hukum ada persepsi yang sama, bahwa tidak semua perkara dapat dijatuhi berupa tindakan. Meski sekarang ini masalah narkoba sudah mewabah, namun sudah saatnya pula kita berpikir menata hukum untuk melindungi hak-hak anak bangsa yang menjadi korban narkoba. “Kalau memang dia bandar, mari kita hajar. Kalau memang dia pengedar, mari juga kita hajar. Tapi kalau pelakunya masih anak-anak, kita harus lebih arif dan bijak mensikapinya,” tutur Dewi.
Mengutip pasal 16 ayat (3) UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, berbunyi: penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak, hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. “Saya lebih sependapat kalau anak yang terlibat narkoba itu masuk panti rehabilitasi,” ujarnya.
Menurut Dewi, dalam penanganan anak berhadapan hukum, aparat penegak hukum tidak semata mengimplementasikan hukum sebagai legal justice, tapi juga harus moral justice dan social justice. Apalagi, Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi konvensi hak-hak anak sejak tahun 1990, dengan keppres No 36 tahun 1990.
Karena sudah meratifikasi konvensi tersebut, maka Indonesia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal-pasalnya, khususnya yang mengatur pemidanaan terhadap anak berhadapan hukum berdasarkan acara persidangan, dengan pendekatan restorative justice. “Ini bagian tidak terpisahkan dari kepentingan terbaik anak dengan menitikberatkan kepada pemulihan kondisi, baik dari segi kejiwaan, tumbuhkembang anak serta kehidupan dan masa depan anak sebagai generasi penerus,” terangnya.
Selain itu, juga sudah lahir instrumen lain, seperti UU kesejahteraan anak, UU pengadilan anak No 3 tahun 1997, UU No 23 tahun 2002 tentang tentang perlindungan anak, UU No 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, UU No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. “Ke semua instrumen hukum itu ada diatur tentang hak hak anak,” kata Dewi sambil mengutip Dirjen Lapas beberapa waktu lalu yang menyebut masih ada 5.760 anak berada dibalik jeruji. Baik masih di dalam proses, maupun yang sudah dijatuhi hukuman. “Ini kan memprihatikan,” ujarnya lagi.
Koordinasi Aparat Penegak Hukum
Karena itu, tegas Dewi, rapat kordinasi secara terpadu antara penegak hukum di Indonesia, mulai dari kepolisian, kejaksaan,dan kehakiman, menjadi sangat penting untuk mencari solusi terbaik buat anak-anak Indonesia. “Mari, kita berdiskusi, tapi bukan berati kita KKN. Tujuan kita adalah menyelamatkan anak bangsa,” tandasnya seraya mengapresiasi Menteri Hukum dan HAM yang akan meminta kepada Presiden memberikan grasi kepada anak-anak.
Dalam acara yang sama, pakar hukum pidana UI, Dr Rudi Satrio SH MH, mengemukakan, UU No 35 tahu 2009 memang menjadi suatu hal yang berbeda dengan UU sebelumnya, dimana secara tegas yang dinamakan dengan korban sama juga dengan seorang pengguna, banyak diberikan kesempatan untuk mendapatkan perlindungan hukum. Artinya dia mendapakan kesempatan untuk direhabilitasi. Karena pengguna indentik sebagai seorang korban, bukan selaku tindak pidana.
Tapi sayangnya, kata Rudi, UU itu tidak secara tegas menyebutkan bagaimana cara korban bisa memakai fasilitas tersebut. Kedua, ia mempertanyakan itu menjadi kewenangan siapa, apakah anak terus harus diproses sampai di pengadilan, setelah selesai baru akan diberikan fasilitas itu?
Menurut Rudi, seharusnya sudah sejak tahap penyidikan sudah dilakukan, artinya tidak perlu menunggu proses-proses berikutnya. Kemudian bagaimana caranya untuk si korban bisa memanfaatkan fasilitas rehabilitasi medis untuk dapat lepas dari ketergantungaannya pada obat-obat narkotika yang ada. “Sudah saatnya pula yang dinamakan pelaku tindak pidana narkotika dipisahkan dari pelaku tindak pidana umum lainnya. Karena umumnya yang terjadi, mereka kembali berdagang narkotika di lembaga pemasyarakatan. Tadinya mereka pengguna, bisa juga kemudian malah menjadi pengedar. Fakta menunjukan demikian,” kata Rudi Satrio.
Arahkan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Melalui Koperasi
Ada dua dampak pengelolaan hutan jika tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan. Pertama, meningkatnya kerusakan hutan. Kedua, konflik kepemilikan lahan hutan antara pemerintah dan masyarakat lokal.
Kawasan hutan negara di Indonesia secara nasional tercatat seluas 132,25 juta hektar, namun berdasarkan keputusan menteri kehutanan, kawasan yang ditunjuk sebagai kawasan hutan hanya seluas 109,96 juta hektar. Dimana 27,74 hektar (25,23%) merupakan hutan industri dan 13,67 juta hektar merupakan hutan yang dapat dikonversi. Sumberdaya hutan ini menjadi tumpuan kehidupan sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Sedikitnya, seperti data BPS, ada sekitar 48,8 juta jiwa atau 22 persen dari total 219,9 juta jiwa penduduk Indonesia.
Sayangnya, kondisi hutan Indonesia itu terus mengalami degradasi yang sangat hebat. Penyebabnya antaralain, pemanfaatan yang berlebihan, perubahan peruntukan kawasan hutan, kebakaran hutan, dan pencurian kayu (illegal logging). Kondisi ini diperparah melalui desentralisasi kewenangan pengolahan sektor kehutanan sebagai amanat dari penerapan otonomi daerah. Demikian Musni Jalil SH, Deputi Bidang Industri Kementerian Koperasi dan UKM, pada seminar “Sukses Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat”, di Jakarta, baru-baru ini.
Berdasarkan data, luas kawasan hutan yang terdegradasi mencapai luas 59,7 hektar dengan laju kerusakan mencapai 2,83 juta hektar pertahun. Sedangkan lahan kritis di dalam dan di luar kawasan tercatat seluas 42,1 juta hektar. Padahal, kata Musni, masalah kerusakan hutan dan kemiskinan merupakan dua isu penting dalam pembangunan hutan di Indonesia. “Pengolahan hutan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi terbukti menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di dalam sekitar hutan,” urainya.
Karena itu, sambung Musni, Kementerian Koperasi dan UKM menyambut baik program pemerintah untuk revitalisasi sektor kehutanan dengan meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat melalui pemberian akses lebih luas terhadap pemanfaatan hutan produksi, pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dalam jangka panjang secara konsisten, komprehensif, koordinatif dan kredibel.
Menurut Musni, pembangunan hutan tanaman rakyat itu selayaknya diarahkan bagi pengembangan perekonomian desa dan pengentasan kemiskinan melalui pengolahan lahan di dalam kawasan hutan produksi oleh kelompok masyarakat yang tergabung dalam kelembagaan koperasi. Sebab, melalui koperasi, masyarakat di kawasan hutan akan dapat memperoleh keuntungan ekonomi berupa peningkatan skala usaha, pemasaran hasil produksi anggota, pengadaan barang dan jasa, fasilitas kredit/pinjaman, serta keuntungan sosial berupa keuntungan berkelompok, pendidikan dan pelatihan, serta program sosial lainnya.
“Apalagi, Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan sangat berpihak kepada koperasi dengan memberikan peran yang sangat penting dan strategis, khususnya pasal 29 mengenai izin usaha yang diberikan kepada koperasi, meliputi: pemanfaatan hutan, usaha pemanfaatan jasa lingkungan, usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, usaha pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu,” terang Musni.
Memperhatikan peran koperasi yang sangat penting dan strategis sebagaimana amanat UU No 41 itu, sambung Musni, maka diharapkan para stakeholder (pemangku kepentingan) dapat mendukung pengembangan koperasi di sektor kehutanan dengan prinsip saling membangun, yang selanjutnya diharapkan bersinergi menjadi kekuatan kelompok usaha yang tergabung dalam lembaga koperasi.
Ia sebutkan, dalam meningkatkan peran koperasi di sektor kehutanan, sejak tahun 2005 Kementerian Koperasi dan UKM, khususnya dalam pemberdayaan hutan kemasyarakatan telah memberikan bantuan perkuatan kepada koperasi di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Tenggara untuk pengadaan sarana pengolahan kopi, kakao, umbi porang, dan pengembangan usaha budidaya umbi porang.
Musni menegaskan, potensi yang dimiliki oleh masyarakat di sekitar HTR sesungguhnya sangat besar. Akan tetapi, melihat kenyataan selama ini, masyarakat di sekitar HTR belum memiliki organisasi. Berbeda dengan pedagang, pabrikan dan eksportir bidang perkebunan yang memiliki perkumpulan atau asosiasi yang mampu mendukung kebutuhan para anggotanya.
Karena itu, ia kembali berharap porsi “peran” koperasi hutan kemasyarakatan selain mampu berperan sebagai dinamisator diantara kepentingan menjaga dan melestarikan hutan, juga mampu memenuhi kebutuhan ekonomi para anggota dan masyarakatnya. “Manfaat harus dirasakan oleh anggotanya. Oleh sebab itu, koperasi mampu menunjukkan “kebebasan” dalam mengambil keputusan, sekaligus mampu mengelola tuntutan maupun keadaaan yang ada,” ujarnya.
RPJMN 2010-2014
Lebih jauh, Musni memaparkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010-2014, Koperasi dan UKM menempati posisi strategis untuk mempercepat perubahan struktural dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sebagai wadah kegiatan usaha bersama bagi produsen maupun konsumen, koperasi diharapkan berperan dalam meningkatkan posisi tawar dan efisiensi ekonomi rakyat, sekaligus memperbaiki kondisi persaingan usaha di pasar melalui dampak eksternalitas positif yang ditimbulkannya.
Sementara itu UMKM berperan dalam memperluas penyediaan lapangan kerja, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, dan memeratakan peningkatan pendapatan. Bersamaan dengan itu adalah meningkatnya daya saing dan daya tahan ekonomi nasional.
Dengan persfektif peran seperti itu, maka sasaran umum pemberdayaan Koperasi dan UMKM dalam lima tahun mendatang adalah; (1) meningkatnya produktifitas UMKM dengan laju pertumbuhan yang tinggi dari laju pertumbuhan produktivitas nasional; (2) meningkatnya proporsi usaha kecil formal; (3) meningkatnya nilai ekspor produk usaha kecil dan menengah dengan laju pertumbuhan yang tinggi dari laju pertumbuhan nilai tambahnya; (4) berfungsinya sistem untuk menumbuhkan wirausaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (5) meningkatnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi sesuai jati diri koperasi.
Selanjutnya, Musni menyebutkan, dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Koperasi dan UKM menyelenggarakan fungsi antaralain: merumuskan kebijakan nasional di bidang koperasi dan UKM; koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang koperasi dan UKM; pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggungjawabnya; pengawasan atas pelaksanaan tugasnya; dan penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada presiden. “Untuk hal ini, Kementerian Koperasi dan UKM masih menunggu terbitnya perubahan atas peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2009, khususnya mengenai fungsi teknis pemberdayaan koperasi,” ungkapnya.
Konversi Lahan Membuat Hengkang Petani ke Negeri Tetangga
Dari tahun ke tahun, luas lahan produktif yang beralih fungsi terus bertambah. Jika tidak ada upaya untuk menahan laju penurunan lahan pertanian maka Indonesia di masa depan akan mengalami krisis pangan. Tidak hanya itu, penduduk desa atau petani akan banyak lagi yang hengkang ke negeri tetangga.
Dulu, Anton Apriyantono, saat menjabat Menteri Pertanian, pernah menyatakan bahwa setiap tahun, setidaknya ada 330 hektare lahan pertanian produktif beralih fungsi. Ini merupakan angka spektakuler dalam hal penggerogotan lahan sektor pangan. Kini, Ditjen PMD Depdagri memperkirakan, di tahun 2010 ini, kepemilikan lahan pertanian produktif di bawah 0,5 hektar, menurun drastis menjadi sisa 16,5 juta rumah tangga. Dan, adalah sebuah fakta yang terjadi, 70 persen dari total petani, sekarang ini hanya menguasai 13 persen dari total luas lahan. Jelas, ini adalah sebuah kesenjangan.
Kesenjangan inilah yang pada akhirnya, tampak menjadi salah satu pemicu penduduk perdesaan rela meninggalkan profesinya sebagai petani dan hengkang ke negeri tetangga. Demikian dipaparkan Suriyanti H Salama, Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian UMI Makassar, dalam makalahnya pada sebuah seminar tentang pertanian, belum lama ini.
Menurut Suriyanti, sektor pertanian sekarang ini memang bukan lagi sektor yang menjanjikan untuk menunjang ekonomi perdesaan, terutama untuk keluarga petani. Akan tetapi, yang menjadi kekhawatiran, proses konversi lahan, utamanya lagi lahan sawah irigasi, saat ini cenderung berlangsung tidak terkendali di hampir seluruh daerah di Indonesia. Konversi lahan itu sebagai dampak dari berbagai pembangunan yang memang sangat memerlukan lahan. Misalnya saja, sektor industri, transportasi, permukiman, bahkan pendidikan. “Sejak 2005, sudah diperkirakan bahwa tidak kurang dari 42,40 persen luas sawah irigasi di Indonesia akan dikonversi ke sektor lain. Hal tersebut tergambarkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten. Salah satu penyebabnya adalah dalam rangka mengumpulkan dana melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang antara lain diupayakan dengan cara meningkatkan nilai ekonomi lahan pertanian,” paparnya.
Suriyanti menjelaskan, penilaian yang dibuat berdasarkan kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), maka konversi lahan pertanian untuk industri atau permukiman, dianggap lebih menguntungkan. Bahkan, lahan sawah dianggap paling murah nilainya daripada lahan perkebunan, industri, perumahan atau yang lainnya. Padahal, sesungguhnya, jika nilai multifungsi pertanian ikut dipertimbangkan dan dihitung nilai ekonominya, akan lain kesimpulannya. Dalam kaitan ini, Suriyanti mengatakan, persepsi masyarakat umum terhadap pertanian memang menjadi salah satu penyebab rendahnya penghargaan terhadap pertanian, sehingga penilaian terhadap konversi lahan pertanian menjadi kurang proporsional.
“Masyarakat memandang bahwa lahan pertanian hanya berfungsi sebagai tempat bercocok tanam, sehingga konversi lahan dianggap sebagai hal yang biasa, bukan sebagai proses hilangnya multifungsi pertanian. Hal lain yang mendorong konversi lahan pertanian adalah kondisi sosial-ekonomi masyarakat perdesaan yang memerlukan pendapatan segera untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, serta pemikiran tentang fungsi lahan pertanian hanya dalam jangka pendek dan dalam ruang lingkup yang sempit. Selain itu, terdapat faktor eksternal yang mendorong percepatan proses konversi tersebut yaitu gencarnya pembangunan sektor non pertanian untuk memperoleh lahan yang siap pakai, terutama ditinjau dari karakteristik biofisik dan asesibilitas,” jelas Suriyanti.
Lebih jauh ia mengemukakan, kondisi petani dan pertanian di Indonesia ini berbeda dengan yang berlaku di beberapa negara maju. Pada negara-negara maju tersebut, kata Suriyanti, petani yang memiliki lahan sawah meskipun sedikit, sangat dihargai oleh pemerintahnya. Kepada para petani itu, pemerintah memberikan subsidi dan sejumlah dana untuk mereka memelihara keberlanjutan lahan sawahnya.
Mengutip Adimiharja 2009 dari Balai Penelitian Tanah Bogor, dijelaskan, pengetahuan dan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap pemeliharaan lahan sawah serta multifungsinya masih rendah. Lahan sawah dipandang hanya sebagai lahan penghasil padi sehingga falsafah pertanian dari sisi lingkungan, ketahanan pangan dan fungsi sosial ekonomi serta budaya yang telah mengakar, kini menjadi terabaikan. Ini juga tercermin dari beberapa hasil penelitian, di mana masyarakat hanya mengenal empat jenis fungsi pertanian, yaitu: 1) penghasil produk pertanian, 2) pemelihara pasokan air tanah, 3) pengendali banjir, dan 4) penyedia lapangan kerja.
Padahal fungsi lahan pertanian bagi kemanusiaan jauh lebih banyak, yaitu penghasil produk pertanian, berperan dalam mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara pasokan air tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati. Bahkan, sudah diidentifikasi ada 30 jenis fungsi pertanian yang bermanfaat bagi masyarakat umum dan perlu terus dilestarikan. Dalam rangka sosialisasi multifungsi pertanian, kini sudah mulai banyak dibicarakan meskipun masih sebatas wacana di kalangan para ilmuwan, peneliti, perguruan tinggi, dan pengamat pertanian. “Sayangnya, para pengambil kebijakan di tingkat pusat maupun daerah, kelihatannya belum banyak mempertimbangkan manfaat multifungsi tersebut dalam menetapkan kebijakan pembangunan pertanian,” ujar Suriyanti.
Karenanya, ia berharap, ada peningkatan kesadaran masyarakat akan berbagai manfaat pertanian yang lestari sangat perlu dilakukan, mengingat saat ini manfaat yang dikenal hanya sebatas lahan pertanian sebagai penghasil bahan pangan dan produk pertanian lainnya. Untuk ini, perlu upaya advokasi dan promosi tentang pentingnya pertanian beserta multifungsinya melalui seminar dan simposium, atau yang lebih luas jangkauannya yakni melalui media cetak dan elektronis. Dalam jangka panjang, sasaran promosi bukan hanya masyarakat umum, tetapi harus mencakup juga para pelajar dan mahasiswa, baik melalui kurikulum pokok maupun ekstrakurikuler.
Gerakan Wirausaha Nasional Solusi Atasi Pengangguran
Upaya pemerintah mengurangi jumlah keluarga miskin di Indonesia tidak pernah berhenti dilakukan. Begitupun dalam mengurangi jumlah pengangguran. Namun tampaknya Indonesia masih sulit terbebas dari kemiskinan dan pengangguran tersebut. Mengapa?
Jawaban pasti tidak sesederhana pertanyaan. Sebab, kemiskinan dan pengangguran merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Kemungkinan besar dibutuhkan waktu yang sangat panjang untuk Indonesia benar-benar bisa terbebas dari kemiskinan dan pengangguran. Lihat saja, data tahun 2004 memperlihatkan angka kemiskinan di Indonesia mencapai 36,1 juta keluarga, turun hanya 2,51 persen di akhir Desember 2009 atau menjadi 32,5 juta keluarga.
Pemerintah sendiri kembali menargetkan angka kemiskinan itu akan menurun sebesar 5 persen hingga akhir tahun 2014. Akan tetapi, diakui hal ini masih menjadi pertanyaan besar. Alasannya, seperti diungkapkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Drs HA Muhaimin Iskandar MSi, jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar dengan tingkat pendidikan dan produktivitas rendah, serta terkonsentrasi di perdesaan. Ditambah lagi, peluang kerja formal yang masih terbatas, bahkan adanya mismatch yang lebar antara kesempatan kerja dengan pertumbuhan angkatan kerja. “Selain itu, kondisi kultural dan psikologikal kemampuan untuk berwirausaha juga rendah, sehingga lemah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya,” kata Muhaimin pada Temu Nasional Tenaga Kerja dan Transmigrasi, di Jakarta, baru-baru ini.
Dipaparkan Muhaimin, kapasitas ekonomi dalam menyerap tenaga kerja tanpa gerakan khusus kewirausahaan di Indonesia sangat terbatas. Data menunjukkan, jumlah angkatan kerja 113,83 juta, sedangkan jumlah pengangguran 8,96 juta. Rata-rata jumlah angkatan kerja baru setiap tahun mencapai 1,83 juta, sementara setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 250 ribu orang. Dengan asumsi pertumbuhan 5 persen maka total kemampuan menyerap angkatan kerja hanya 1,25 juta, sehingga jumlah penganggur rata-rata setiap tahun mencapai 580 ribu orang.
Oleh karena itu, menurut Muhaimin, perlu dibangkitkan semangat kewirausahaan dan kemampuan berwirausaha. Untuk menumbuhkembangkan hal ini, maka yang perlu dilakukan antaralain; pemberdayaan masyarakat. Dalam kaitan ini masyarakat diberdayakan untuk mampu melihat potensi diri dan sekitarnya. Mampu melihat dan memanfaatkan peluang, serta memampukan masyarakat dalam permodalan dan manajemen. “Kewirausahaan itu merupakan tindakan kreatif manusia yang dapat menciptakan atau membangun nilai yang bermanfaat, tanpa banyak mengandalkan kepada ketersediaan sumberdaya,” tuturnya.
Meskipun demikian, Muhaimin menegaskan, masyarakat juga perlu merubah mindset, attitude, skill dan knowledge melalui pendekatan teknikal, ekonomikal, psikologikal dan kultural. Teknikal, yakni pembekalan ketrampilan, pengetahuan dan pembentukan sikap. Ekonomikal, yakni proses identifikasi untuk menentukan potensi masyarakat atau daerah yang dapat dikembangkan menjadi kegiatan ekonomi. Psikologikal adalah menumbuhkan dan memotivasi jiwa wirausaha, dan kultural yakni merubah budaya kea rah penghormatan kepada wirausaha setara dengan bekerja di sektor formal.
Lebih jauh Muhaimin menilai, dalam kaitan kewirausahaan untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran ini, maka target grup kewirausahaan yang patut diprioritaskan adalah penganggur dan masyarakat miskin di perdesaan. “Dengan inovasi atau kreasi di perdesaan, maka peluang kerja akan bertambah, menjadikan desa lebi produktif, kemakmuran meningkat, warga betah di desa, dan urbanisasi menjadi terkendali,” ujarnya. “Setelah di perdesaan itu, adalah penganggur terdidik di perkotaan, calon TKI dan peserta magang di luar negeri, buruh atau pekerja, wirausaha di sector formal, dan transmigran atau calon transmigran,” tambahnya.
Pengangguran Terdidik
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koperasi dan UKM, DR Syarif Hasan MM MBA, mengemukakan hal yang tidak jauh berbeda. Menurutnya, gerakan kewirausahaan nasional merupakan satu solusi yang tepat dalam mengatasi pengganguran dan kemiskinan di Indonesia.
Syarif memaparkan, kenyataan dari 8,96 juta pengangguran tahun 2009, sebanyak 4,8 juta atau 53,93 persennya adalah penggangguran terdidik yang berpendidikan sarjana, akademi dan SLTA. “Umumnya, lulusan SLTA (60,87%) dan perguruan tinggi (83,18%) lebih memilih menjadi pekerja atau karyawan (job seeker) dibanding menciptakan kerja (job creator),” urainya.
Lebih jauh kata Syarif, tingginya pengangguran terdidik di Indonesia, disebabkan antaralain, kesenjangan dunia pendidikan dan dunia usaha atau industri; ketidakmampuan lembaga pendidikan menjadikan lulusannya seseorang yang mandiri, yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri; orientasi pendidikan yang kurang menekankan nilai-nilai kemandirian dalam kreatifitas yang merupakan basis kewirausahaan para mahasiswa dan siswa sekolah; serta sistem pendidikan yang menerapkan metode penilaian prestasi kelulusan seringkali hanya terbatas pada penilaian kemampuan academic knowledge, dan cenderung tidak menjadikan lulusannya kreatif menciptakan kemandirian kerja karena kurangnya soft skill.
Nah, dalam rangka mengembangkan jiwa kewirausahaan ini, kata Syarif, kementerian Koperasi dan UKM menginisiasi program 1000 sarjana calon wirausaha atau sarjana enterpreneur di setiap propinsi untuk mengurangi pengangguran di kalangan intelektual sarjana. “Program ini telah disosialisasikan pada 10 Desember 2009 di DKI Jakarta. Kemudian diperluas di 5 provinsi lain, yakni Jawa Tengah, Bali, Jambi, Sumatera Utara dan DI Yogyakarta,” ungkapnya.
Kementerian Koperasi dan UKM juga telah mengembangkan program santri/siswa entrepreneur melalui dukungan Tempat Praktek Ketrampilan Usaha (TKPU) untuk memotivasi tumbuhnya calon wirausaha di kalangan siswa/santri setingkat SLTA. “Telah difasilitasi 814 lembaga pendidikan perdesaan atau pondok pesantren yang melibatkan pelatihan bagi 86.980 siswa agar mampu memahami budaya usaha dan memiliki ketrampilan melakukan usaha mandiri pasca pendidikan,” jelas Syarif.
Selanjutnya, Syarif menegaskan, kedudukan KUKM dalam perekonomian nasional sangat strategis terutama untuk mengatasi masalah pengangguran. Oleh sebab itu, ia berharap, daerah-daerah di Indonesia sangat peduli terhadap KUKM, termasuk di daerah transmigrasi. “Perhatian pemerintah dalam hal ini sudah cukup, meski perlu ditingkatkan lagi,” akunya.
Ekonomi Kerakyatan di Mata Ibunda Presiden Barack Obama
Ekonomi kerakyatan adalah tulang punggung sejati perekonomian nasional. Akan tetapi, ekonomi kerakyatan dan ekonomi sektor informal hanya dapat bertahan bila pemerintah yang menjadi pelindung dan pengatur semua aktivitas ekonomi di sebuah negara, dalam hal ini Indonesia, memiliki kepedulian yang tinggi dan keberpihakan yang jelas.
Itulah poin penting dari desertasi Ann Dunham Soetoro -- ibunda Presiden Amerika Serikat Barack Husein Obama – pada jurusan Antropologi University of Hawaii at Manoa Honolulu, dengan judul “Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and thriving against all Odds” (1992), dan pertama kali menjadi buku serta diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Pendekar-pendekar Besi Nusantara”, yang menjadi benang merah pada seminar internasional “Ann Dunham Soetoro dan Ekonomi Kerakyatan”, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dalam kaca mata ibunda Presiden Obama yang menghabiskan belasan tahun untuk meneliti kehidupan pelaku sektor informal di kawasan perdesaan di Indonesia ini, terungkap tesis utama, bahwa perekonomian yang berbasis pada nilai-nilai tradisional dapat bertahan dan berkembang di tengah arus pembangunan dan globalisasi.
Tesisnya itu berseberangan dengan tesis mainstream yang dibawa oleh kebanyakan antropolog dan sosiolog barat yang umumnya memandang nilai-nilai tradisional dan kebijaksanaan lokal sebagai sesuatu yang rapuh dan tidak dapat menyesuaikan diri terhadap proses pembangunan yang mengemuka. Bahkan, sebagian dari mereka menganggap bahwa nilai-nilai tradisional adalah faktor penghambat kemajuan. Selain itu, dalam pandangan mainstream ini, nilai-nilai modernitas berikut aktor-aktor ekonominya akan dengan mudah menggantikan nilai-nilai tradisional serta aktor ekonomi kerakyatan dan pelaku ekonomi sektor informal.
Pandangan Ann Dunham tersebut diperkuat oleh gurunya, yakni Prof Emertus Alice G Dewey. Menurut Dewey, nilai-nilai tradisional memiliki logika sendiri yang pada prinsipnya dapat bertahan dan menemukan bentuk baru di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang hingga kini menjadi tema besar. “Setiap masyarakat lokal memiliki cara hidup dan kebijaksanaan sendiri dalam menghadapi berbagai tantangan,” tuturnya.
Meskipun demikian, sambung Dewey, dari sudut pandang ekonomi pembangunan, mensyaratkan kerja keras pemerintah sebagai pelindung dan pengatur tata kelola ekonomi nasional. “Keberpihakan pemerintah haruslah jelas, agar rakyat di lapisan bawah dapat mengembangkan model ekonomi mereka yang mandiri,” terang Dewey, pembicara kunci dalam seminar yang mengupas pemikiran sosok dan pemikiran almarhum ibunda Presiden Amerika Serikat Barack Husein Obama ini.
Berubah dan Bergeser
Pengamat ekonomi Hendri Saparini yang juga menjadi pembicara seminar, mengemukakan, sejak awal masyarakat Indonesia memang menghidupi kehidupannya dengan jalan ekonomi yang berbasis pada usaha kecil. Akan tetapi, saat ini model ekonomi itu mulai berubah dan bergeser. Alasannya, ada kelompok donor yang memaksakan kebijakan ekonomi Indonesia beralih ke ekonomi murni.
Menurut Hendri Saparini, pada saat itu, akhir 1960-an, Ann Dunham sudah bisa menangkap bahwa ekonomi Indonesia telah bergeser dari ekonomi kerakyatan. Meskipun sebenarnya, ibu Obama ini juga melihat di awal pemerintahan Orde Baru itu, masih ada upaya untuk kembali menghidupkan model ekonomi kerakyatan, karena masih melihat adanya ekonom seperti Mohammad Hatta atau Soemitro Djojohadikusumoh.
Tapi setelah itu, ekonom-ekonom yang ada di Indonesia sebagian besar percaya bahwa pertumbuhan ekonomi adalah segala-galanya. Nah, saat itulah awal struktur ekonomi Indonesia bergeser dan meninggalkan ekonomi kerakyatan. “Dan, itu karena ada tekanan dari kelompok lain yang ingin Indonesia segera meninggalkan ekonomi kerakyatan,” jelasnya.
Hal senada dilontarkan pembicara lain, yakni Wakil Ketua DPD La Ode Ida. Menurutnya, saat ini kelompok mayoritas dari masyarakat Indonesia mulai meninggalkan ekonomi kerakyatan dan beralih ke ekonomi yang lebih modern. “Saat ini sudah mulai ada pergeseran pekerjaan dari sektor pertanian, nelayan dan semacamnya ke sektor yang lebih modern,” ujarnya seraya menambahkan, bahwa hal tersebut pada akhirnya akan membuat kelompok mayoritas semakin tertinggal dan mengalami peminggiran. “Sebabnya, ekonomi kapitalis tidak memberdayakan ekonomi kerakyatan,” tuturnya.
Pemikiran Obama
Hal menarik lain dari seminar “Ann Dunham Soetoro dan Ekonomi Kerakyatan” ini, seperti diungkapkan Teguh Santosa -- penulis kata pengantar buku karya Ann Dunham berjudul Pendekar-pendekar Besi Nusantara – yang bertindak sebagai moderator seminar, pemikiran Ann Dunham telah menginspirasi Presiden Obama tampil sebagai pembela ekonomi kerakyatan di negaranya. “Obama menilai arus globalisasi juga merugikan masyarakat Amerika,” kata Teguh.
Lebih jauh Teguh memaparkan, dalam pandangan Obama, globalisasi cenderung menguntungkan sebagian kecil masyarakat, yakni para pemilik modal besar, dan merugikan sebagian besar masyarakat Amerika. Seperti halnya di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, di Amerika Serikat globalisasi pun telah menciptakan jurang yang begitu dalam dan lebar antara dua kelompok masyarakat; sebagian kecil pemilik modal dan sebagian besar rakyat pekerja.
Obama juga memahami globalisasi telah membuat bangsa Amerika menjadi bangsa yang konsumtif. Celakanya, konsumerisme itu telah melemahkan basis industri dalam negeri dan menciptakan gelombang pengangguran terbesar dalam sejarah Amerika. Tanpa bermaksud menutup diri, Obama berupaya mengurangi ketergantungan Amerika pada industri luar negeri.
Hanya dengan menggerakkan roda industri dalam negeri, Obama percaya, rakyat sebagai tulang punggung sejati perekonomian nasional dapat benar-benar kuat dan mandiri. Karena ini pula, dalam berbagai kesempatan, Obama mendorong agar pemerintah di semua negara memperkuat industri dalam negeri. “Proposal Obama tersebut memiliki relevansi yang begitu signifikan manakala kita membicarakan proses pembangunan nasional, khususnya dalam hal membangun ekonomi kerakyatan yang dimotori oleh aktor ekonomi sektor informal di tanah air,” kata Teguh menyimpulkan. sis
PNPM Mandiri Perdesaan Motor Penggerak Pembangunan di Desa
Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan, Kementerian Dalam Negeri bertanggungjawab dalam melakukan upaya percepatan penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan potensi, dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat.
PNPM Mandiri Perdesaan tersebut, dilaksanakan secara bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Kebersamaan ini diwujud dalam bentuk partisipasi daerah dalam penyediaan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), untuk pembiayaan kegiatan melalui pengalokasian sejumlah dana, yang bersumber dari APBD, sebagai pendamping dana yang bersumber dari APBN. Demikian Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, pada pembukaan Rapat Kerja Nasional Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Sosialisasi PNPM Mandiri Perdesaan 2010, di Jakarta, baru-baru ini.
Menurut Gamawan, pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan harus dilandasi rasa kebanggaan dan semangat yang kuat untuk membangun desa. Sebab, program ini, secara terus menerus memperjuangkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat, dengan memberikan kepercayaan dan peningkatan kemampuan masyarakat, terutama masyarakat miskin, dalam mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan dan merencanakan, melaksanakan, hingga memastikan keberlanjutan program-program yang telah disepakati, dalam upaya pemenuhan kebutuhan, terutama kebutuhan dasar masyarakat di wilayah perdesaan. ”Realita, lebih dari 60 persen penduduk Indonesia tinggal dan hidup di desa,” jelasnya.
Apalagi, sambung Mendagri, hasil-hasil yang diperoleh hingga tahun 2009, menunjukkan bahwa PNPM Mandiri Perdesaan telah menjadi motor penggerak dalam mendinamisir dan mempercepat pembangunan di desa. Partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pelaksanaan program mencapai 17.193.014 orang, dari jumlah tersebut 55 persen berasal dari keluarga Rumah Tangga Miskin (RTM). Demikian juga halnya dengan keterlibatan kaum perempuan pada setiap tahap proses perencanaan, dari 40 persen yang ditargetkan meningkat menjadi 48 persen. ”Bahkan, pemanfaatan dana BLM dibidang ekonomi yang dilakukan melalui kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP), saat ini telah mencapai Rp1,9 triliun, yang disalurkan sebagai pinjaman bergulir bagi 189.888 kelompok masyarakat,” terang Gamawan.
Disamping itu, program ini juga menyerap angkatan kerja terlatih (fasilitator/konsultan), yang hingga saat ini berjumlah 11.610 orang. Dalam bentuk sarana dan prasarana, melalui program ini sudah terbangun, antaralain: jalan desa sebanyak 29.110 unit, dengan panjang 35.395 Km, jembatan 6.957 unit, sarana air bersih 4.335 unit, irigasi 14.252 unit, dengan jumlah tenaga kerja yang terserap diperkirakan mencapai 18 juta orang dan Hari Orang kerja (HOK) sebesar 45 juta HOK, dimana 73 persen diantaranya adalah masyarakat miskin.
Gamawan menegaskan, komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan mengalami peningkatan. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya lokasi dan alokasi dari tahun 2008 yang ada di 366 kabupaten, di 2.835 kecamatan dengan alokasi BLM Rp3,8 milyar. Tahun 2009 di 364 kabupaten, 4.334 kecamatan dengan alokasi BLM Rp. 6,5 trilyun. ”Pada pelaksanaan tahun 2010 ini (2010) mencakup 394 kabupaten di 4.791 kecamatan dengan alokasi Rp10.8 trilyun,” ujarnya.
Penguatan Aparatur
Lebih jauh, Gamawan mengatakan, Rakernas Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Sosialisasi PNPM Mandiri Perdesaan Tahun 2010 ini, dilaksanakan berdasarkan Pasal 222, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menegaskan bahwa Menteri Dalam Negeri adalah Koordinator Pembinaan dan Pengawasan pemerintahan di daerah, serta Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Karenanya, seiring dengan upaya pemberdayaan masyarakat, penguatan dan peningkatan kapasitas aparatur pemerintah desa tentulah tidak bisa diabaikan. Salah satu kebijakan yang telah dilaksanakan secara nasional adalah mengisi posisi Sekretaris Desa dengan Pegawai Negeri Sipil, sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Gamawan mengungkapkan, sampai dengan awal bulan Maret 2010, jumlah Sekretaris Desa yang telah diangkat menjadi PNS, adalah sebanyak 39.278 orang dan sisanya sebanyak 3.930 orang harus sudah diselesaikan paling lambat pada akhir bulan April 2010. ”Pengangkatan Sekretaris Desa menjadi Pegawai Negeri Sipil pada intinya akan melakukan 2 (dua) hal pokok yaitu: meningkatkan efektifitas pelayanan administrasi pemerintahan desa kepada masyarakat, dan memperkuat koordinasi fungsional vertikal dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan melalui jaringan administrasi yang efektif mulai dari pusat sampai ke desa,” urainya.
Lanjut, Mendagri menyadari, keberhasilan pelaksanaan pembangunan tentunya tidak lepas dari peran para pelaku program di masyarakat dan pembina di jajaran pemerintahan. Untuk itu, sebagai bentuk apresiasi pemerintah kepada para pelaku dan pembina PNPM Mandiri Perdesaan, pada kesempatan yang baik ini akan disampaikan penghargaan kepada masyarakat pelaku PNPM Mandiri Perdesaan, yang terdiri atas 3 kategori yaitu, kepada : Unit Pengelola Kegiatan (UPK), Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) dan Tim Pemelihara dan Pengelola Prasarana (TP3) Terbaik Nasional.
Penghargaan yang sama juga akan diberikan kepada gubernur dan bupati selaku penanggungjawab pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan di daerah. Komitmen yang kuat serta keterlibatan aktif Gubernur dan Bupati bersama dengan pelaku lainnya merupakan salah satu kunci suksesnya pelaksanaan program ini. Maka sebagai bentuk apresiasi terhadap komitmen dan kinerja tersebut, selayaknyalah diberikan penghargaan sebagai Pembina PNPM Mandiri Perdesaan ditingkat Provinsi dan Kabupaten. Penghargaan ini akan mengingatkan dan memberikan motivasi kepada para pelaku tentang prinsip-prinsip PNPM Mandiri Perdesaan, yaitu: transparansi, keberpihakan (kepada) orrang miskin, partisipasi, akuntabilitas dan keberlanjutan program atau disingkat SIKOMPAK.
Mengakhiri sambutannya, Gamawan pun mengungkapkan, rapat kerja nasional akan dilanjutkan dengan Rapat Koordinasi PMD, yang diikuti oleh Kepala Badan PMD Provinsi dan Kabupaten. Rakor PMD ini bertujuan untuk menyampaikan visi, misi dan strategi serta kebijakan pelaksanaan tugas-tugas, yang berbasiskan pemberdayaan masyarakat dilingkungan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, khususnya dalam mendukung pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan di daerah. Hal ini sangatlah penting karena Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa merupakan SKPD, yang secara khusus menangani tugas-tugas pemberdayaan masyarakat di daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007. ”Ini juga berarti bahwa eksistensi Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa sangat dibutuhkan dan perlu peningkatan dalam pembinaan dan pengembangannya,” kata Mendagri Gamawan Fauzi.
Kamis, 01 April 2010
Pelaku Usaha Sulit Ajukan Kredit Usaha Pembibitan Sapi
Kementerian keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.05/2009 tentang Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). PMK tersebut dikeluarkan kementerian keuangan dalam rangka bantuan pengadaan 1 juta ekor bibit sapi sebagai upaya pemenuhan dan penyediaan daging di dalam negeri.
Demikian Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan RI, DR Mulia P Nasution, dalam workshop “Implementasi Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) Dalam Rangka Mewujudkan Peternakan Berbasis Kerakyatan yang Berkesinambungan”, yang diselenggarakan Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) bekerjasama dengan Lembaga Pendidikan Keuangan Daerah Indonesia (LPKDI), di Jakarta, baru-baru ini.
Nasution memaparkan, pemerintah saat ini memang tengah melakukan upaya penyediaan daging di dalam negeri karena melihat kondisi pemenuhan daging sebagai salah satu program ketahanan pangan masih sangat terbatas. Hal ini tercermin dalam jumlah konsumsi di satu sisi, dan di lain pihak produksi dari impor, perbandingannya masih jauh. “Yang memprihatinkan lagi, beberapa daerah yang dulu menjadi sentra daging, kini sudah tidak ada lagi. Jadi, kalau tidak melakukan upaya ekstra, niscaya impor akan semakin tinggi,” ujarnya kepada Jurnal Berdaya.
Lebih jauh, Nasution merasa senang dengan dilaksanakannya workshop oleh APDI dan LPKDI ini, karena kalau dilihat peraturannya sendiri yang sudah diterbitkan lima bulan lalu, namun dalam pelaksanaannya masih sedikit terkendala teknis di lapangan, karena masih belum sepenuhnya dipahami para stakeholder. “Sepertinya memang terlambat, tapi saya senang dengan pertemuan ini kita harapkan mempercepat proses verifikasi dari kebijakan pemerintah itu. Terlebih permasalahan penyediaan daging juga sudah menjadi perhatian kita semua,” tuturnya.
Tentang pengadaaan 1 juta ekor bibit sapi itu sendiri, Mulia Nasution mengaku optimis akan dapat tercapai, meskipun diakui membuat target adalah sesuatu yang mudah tapi implementasi masih harus dilihat lagi. Karenanya, ia menekankan masalah-masalah teknis di lapangan tidak menjadi penghalang dari program tersebut. “Jangan sampai masalah teknis menjadi penghalang, karena ini sudah dicanangkan pemerintah. Ya, kita harapkan mudah-mudahan semua bisa bergerak. Kesiapan pemerintah, dunia usaha, koperasi, peternak dan perbankan betul-betul terwujud,” tegasnya.
Apa yang dikatakan Mulia Nasution tentang kendala teknis di lapangan nyata terjadi. Peraturan Menteri Keuangan yang antaralain mengatur tentang mekanisme pencairan subsidi bunga, yang didalamnya melibatkan unsur kementerian pertanian di pusat maupun daerah, perbankan, dan pelaku usaha mulai dari koperasi, kelompok peternak maupun perusahaan, ternyata implementasinya dirasakan masih sulit. Akibatnya, penerima dan pemanfaat KUPS itu sendiri masih sedikit jumlahnya.
Pemberian KUPS Dipertanyakan
Seperti halnya dikatakan peserta workshop. Mereka mengatakan hingga saat ini masih kesulitan untuk memperoleh dan memanfaatkan KUPS. “Sudah beberapa kali saya mencoba mengajukan kredit usaha sapi ini, akan tetapi Bank Nagari masih tetap mengenakan suku bunga 12 persen. Tidak ada subsidi di situ,” keluh Limus, Ketua DPC APDI Sumatera Barat, pada sesi pertama workshop.
Demikian pula beberapa pertanyaan dari peserta lain, yang intinya mempertanyakan persyaratan ataupun mekanisme yang terkesan berbelit untuk mendapatkan KUPS. Misalnya saja, ada kesan bahwa penentuan akad kredit tetap di tangan pihak perbankan, sosialisasi program ke perbankan di daerah tentang KUPS juga tidak ada. Seorang peserta dari Lampung juga mempertanyakan mengapa mereka masih sulit memperoleh KUPS, sementara perusahaan besar di Lampung jauh-jauh hari sudah ada yang memperoleh kredit untuk bibit sapi sebanyak 5.000 ekor. “Kenapa informasi dan akses lebih didahulukan kepada perusahaan besar,” ujarnya mempertanyakan.
Ketua Umum APDI, Drs M Nurdin R, juga mempertanyakan hal yang sama. Menurutnya, kepala cabang perbankan di daerah banyak yang tidak tahu menahu adanya program KUPS. Bahkan lebih dari itu, ia menuntut kepala dinas peternakan yang kebanyakan tidak membantu dalam memberikan rekomendasi kepada pelaku usaha, seperti anggota APDI, untuk kemudahan dalam memperoleh KUPS. Padahal, hampir 11 ribu anggota APDI memiliki sertifikat sebagai petani dan peternak sapi. “Tolong ajari kami memperoleh KUPS. Kami punya tanah, punya sertifikat. Hambatan selama ini kebanyakan soal rekomendasi dari kepala dinas peternakan,” ujarnya.
Seperti dipaparkan Bambang Susanto dari Kementerian Pertanian, KUPS adalah kredit yang diberikan oleh bank pelaksana kepada pelaku usaha pembibitan sapi yang didukung dengan subsidi bunga oleh pemerintah. Adapun sasaran dari KUPS, yaitu pelaku usaha pembibitan meliputi; kelompok peternak, koperasi dan perusahaan pembibitan, dengan ketentuan suku bunga diberikan sebesar 5 persen pertahun, artinya pemerintah mensubsidi kredit lebih dari 8 persen. Jangka waktu kredit selama enam tahun dengan grace periode selama 2 tahun. Sedangkan persyaratan yang harus dipenuhi pemanfaat KUPS, antaralain untuk perusahaan atau koperasi, adanya rekomendasi dari dinas kabupaten/kota dan direktorat jenderal peternakan, serta adanya pola kemitraan dengan perusahaan atau koperasi.
Program Food Estate, Benarkah untuk Kedaulatan Pangan?
Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai program pengembangan pangan skala besar atau food estate hanya akan semakin meminggirkan petani dan membahayakan kedaulatan pangan negara. Untuk ini, SPI meminta Kementerian Pertanian meninjau kembali program food estate.
Dalam rangka mengupayakan ketahanan pangan Indonesia untuk jangka panjang, pemerintah telah menyiapkan program pengembangan pangan skala besar atau lebih dikenal dengan program food estate. Lokasi pertama yang dipilih untuk implementasi program food estate ini adalah di Merauke Papua atau dinamakan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Setidaknya untuk MIFEE, pemerintah akan menyiapkan lahan potensial di Merauke seluas 1,6 juta hektar (Ha) untuk dijadikan produksi tanaman pangan, dengan produk pangan yang dihasilkan meliputi padi, jagung, kedelai, tebu dan peternakan sapi. Namun, pada tahap awal baru tersedia lahan sekitar 500 ribu hektar.
Menyangkut payung hukum, Menteri Pertanian Ir Suswono MM, mengungkapkan, program food estate telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman, yang telah ditandatangani Presiden Susilo bambang Yudhoyono pada 28 Januari lalu.
Di dalam PP itu, kata Suswono, ditetapkan bahwa izin lahan yang diberikan kepada satu investor maksimal adalah 10 ribu Ha. Namun, untuk wilayah tertentu, seperti Papua, izin bisa diberikan dua kali lipat atau sampai 20 ribu hektar. Sedangkan untuk investasi asing dibatasi maksimal 49 persen. Selain itu, pemberian hak guna usaha (HGU) kepada investor berjangka waktu 35 tahun dan boleh diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing 35 tahun dan 20 tahun.
Nah, mencermati program food estate itu, pada 3 Maret 2010 lalu SPI melakukan audiensi ke Menteri Pertanian. Dalam audiensi tersebut, Ketua Umum SPI Henry Saragih menyampaikan pandangan bahwa program food estate hanya akan semakin meminggirkan petani, disamping akan membahayakan kedaulatan pangan negara. Alasannya, karena pangan akan dikelola oleh pihak swasta, dan pemerintah nantinya akan semakin sulit untuk mengendalikan harga pangan. “Pengembangan food estate justru bertentangan dengan upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani,” ujarnya.
Dalam keterangan persnya, Henry menjelaskan, dengan adanya pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari pertanian berbasis keluarga petani kecil menjadi korporasi berbasis pangan dan produksi pertanian. “Kondisi ini, jelas akan melemahkan kedaulatan pangan Indonesia,” ungkapnya. Karena itu, Henry menegaskan lagi, SPI sangat menyesalkan pilihan kebijakan pemerintah mendongkrak produksi pangan dengan food estate. Dalam kacamata SPI, pemerintah hanya terfokus kepada kepentingan investor (pemodal) besar untuk datang ke Indonesia. Bagaimana tidak, program food estate ini memang sangat menarik minat pemodal besar dan asing, karena mereka akan diberi banyak kemudahan untuk “memiliki” dan mengelola lahan yang ada di Indonesia.
Diakui Henry, melalui food estate, pemerintah akan memperoleh keuntungan seperti misalnya terbukanya peluang kerja yang cukup tinggi, meningkatnya pemasukan pajak dan tambahan pendapatan non pajak. Akan tetapi, yang tidak diperhitungkan pemerintah, petani Indonesia akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. “Food estate ini bisa mengarah kepada feodalisme karena peran petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias “buruh” bagi pemodal di food estate,” terangnya.
Hal senada dikemukakan Staf Departemen Politik, Hukum dan Keamanan SPI, Muhammad Rizal Siregar. Kata Rizal, program food estate sama halnya dengan pola yang digunakan pemerintahan kolonial, yakni sebagai alat ekstratif mempermudah penghisapan alam Indonesia untuk diperdagangkan di negara asal mereka. Bahkan agar tetap rakyat menanamnya, penjajahan kala itu mengharuskan rakyat membayar pajak berupa beberapa komoditas penting yang laku dipasaran dunia sehingga rakyat harus menanamkannya, yang dikenal dengan istilah culture stelsel. “Sistem culture stelsel baru dengan skema food estate ini bisa menegaskan bahwa feodalisme tidak pernah berakhir di negeri ini,” tuturnya.
Pandangan serupa juga datang dari Subejo, Dosen Pertanian UGM yang juga kandidat PhD dari The University of Tokyo. Dalam artikelnya yang dimuat di sebuah media massa, Subejo antaralain mengatakan, model food estate ini sejatinya tidak lain dan tidak bukan adalah wujud perampasan tanah atau land grabbing. “Food estate ini sejatinya juga menunjukkan cengkeraman gurita pangan global di negeri ini. Petani gurem tidak mungkin dapat bersaing dengan korporasi pemilik modal besar dan teknologi yang efisien,” tulisnya.
Kembali ke UUPA
Lebih jauh menyikapi program food estate, Henry Saragih menegaskan, daripada diberikan kepada asing dan pemodal besar, hendaknya pemerintah berpikir bagaimana jutaan tanah mati atau tidur tersebut bisa dikelola oleh petani Indonesia. “Karena permasalahan utama pertanian kita adalah terkait status dan rendahnya kepemilikan lahan pertanian yang hanya 0,3 hektar. Jika dilihat dari skala ekonomi, maka ini tidak mungkin membuat petani Indonesia akan bisa menjadi kaya,” ujarnya.
Ditambahkan Henry, selain status dan luas lahan yang dimiliki, permasalahan mendasar lain petani adalah akses terhadap air, benih, ketergantungan yang sangat besar pada pupuk kimiawi, konflik agraria dan belum adanya perlindungan harga produk pertanian. Termasuk pula persoalan pangan dimana petani sebagai produsen sekaligus konsumen pangan. Petani seringkali tidak bisa menikmati hasil panennya sendiri, lantaran terbelit hutang untuk biaya produksi dan serbuan pangan impor murah yang menyebabkan anjloknya harga produk pertanian dalam negeri. “Permasalahan petani adalah masalah khusus, sehingga dibutuhkan perlindungan yang khusus juga. Dalam hal ini diperlukan instrumen yang menjamin perlindungan khusus terhadap petani kecil dan buruh tani,” kata Henry.
Pernyatan Henry ditegaskan oleh Rizal, bahwa langkah nyata untuk menanggulangi masalah petani dan pertanian di tanah air, pemerintah harus kembali kepada UUPA No 5/1960. Karena saat ini di Indonesia masih terdapat 12.418.0563 hektar tanah terlantar (BPN; 2008), dan tanah tersebut akan sangat bermanfaat jika didistribusikan untuk keluarga-keluarga tani. Pendistribusian ini hendaknya mengutamakan keluarga tani yang tak bertanah, buruh tani, dan petani kecil dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar. “Jika rata-rata satu keluarga tani mendapatkan 2 hektar tanah untuk digarap, sesuai pasal 8 Perpu No.56/1960 untuk batas minimum yang dapat menjamin kelangsungan hidup keluarga, maka terdapat 6.209.028 keluarga yang akan mendapatkan sumber penghidupan yang layak disamping untuk memenuhi kebutuhan pangan dan produk pertanian nasional,” paparnya.
Tidak hanya itu, tambah Rizal, jika petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi serta berbagai kebijakan yang mendukungnya dalam bingkai pelaksanaan pembaruan agraria, maka kedaulatan pangan akan dapat ditegakkan dan akan berjalan seiring dengan proses pembangunan pedesaan yang saat ini dikenal sebagai kantong-kantong kemiskinan.
Langganan:
Postingan (Atom)