Jumat, 02 April 2010

Konversi Lahan Membuat Hengkang Petani ke Negeri Tetangga


Dari tahun ke tahun, luas lahan produktif yang beralih fungsi terus bertambah. Jika tidak ada upaya untuk menahan laju penurunan lahan pertanian maka Indonesia di masa depan akan mengalami krisis pangan. Tidak hanya itu, penduduk desa atau petani akan banyak lagi yang hengkang ke negeri tetangga.

Dulu, Anton Apriyantono, saat menjabat Menteri Pertanian, pernah menyatakan bahwa setiap tahun, setidaknya ada 330 hektare lahan pertanian produktif beralih fungsi. Ini merupakan angka spektakuler dalam hal penggerogotan lahan sektor pangan. Kini, Ditjen PMD Depdagri memperkirakan, di tahun 2010 ini, kepemilikan lahan pertanian produktif di bawah 0,5 hektar, menurun drastis menjadi sisa 16,5 juta rumah tangga. Dan, adalah sebuah fakta yang terjadi, 70 persen dari total petani, sekarang ini hanya menguasai 13 persen dari total luas lahan. Jelas, ini adalah sebuah kesenjangan.

Kesenjangan inilah yang pada akhirnya, tampak menjadi salah satu pemicu penduduk perdesaan rela meninggalkan profesinya sebagai petani dan hengkang ke negeri tetangga. Demikian dipaparkan Suriyanti H Salama, Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian UMI Makassar, dalam makalahnya pada sebuah seminar tentang pertanian, belum lama ini.

Menurut Suriyanti, sektor pertanian sekarang ini memang bukan lagi sektor yang menjanjikan untuk menunjang ekonomi perdesaan, terutama untuk keluarga petani. Akan tetapi, yang menjadi kekhawatiran, proses konversi lahan, utamanya lagi lahan sawah irigasi, saat ini cenderung berlangsung tidak terkendali di hampir seluruh daerah di Indonesia. Konversi lahan itu sebagai dampak dari berbagai pembangunan yang memang sangat memerlukan lahan. Misalnya saja, sektor industri, transportasi, permukiman, bahkan pendidikan. “Sejak 2005, sudah diperkirakan bahwa tidak kurang dari 42,40 persen luas sawah irigasi di Indonesia akan dikonversi ke sektor lain. Hal tersebut tergambarkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten. Salah satu penyebabnya adalah dalam rangka mengumpulkan dana melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang antara lain diupayakan dengan cara meningkatkan nilai ekonomi lahan pertanian,” paparnya.

Suriyanti menjelaskan, penilaian yang dibuat berdasarkan kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), maka konversi lahan pertanian untuk industri atau permukiman, dianggap lebih menguntungkan. Bahkan, lahan sawah dianggap paling murah nilainya daripada lahan perkebunan, industri, perumahan atau yang lainnya. Padahal, sesungguhnya, jika nilai multifungsi pertanian ikut dipertimbangkan dan dihitung nilai ekonominya, akan lain kesimpulannya. Dalam kaitan ini, Suriyanti mengatakan, persepsi masyarakat umum terhadap pertanian memang menjadi salah satu penyebab rendahnya penghargaan terhadap pertanian, sehingga penilaian terhadap konversi lahan pertanian menjadi kurang proporsional.

“Masyarakat memandang bahwa lahan pertanian hanya berfungsi sebagai tempat bercocok tanam, sehingga konversi lahan dianggap sebagai hal yang biasa, bukan sebagai proses hilangnya multifungsi pertanian. Hal lain yang mendorong konversi lahan pertanian adalah kondisi sosial-ekonomi masyarakat perdesaan yang memerlukan pendapatan segera untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, serta pemikiran tentang fungsi lahan pertanian hanya dalam jangka pendek dan dalam ruang lingkup yang sempit. Selain itu, terdapat faktor eksternal yang mendorong percepatan proses konversi tersebut yaitu gencarnya pembangunan sektor non pertanian untuk memperoleh lahan yang siap pakai, terutama ditinjau dari karakteristik biofisik dan asesibilitas,” jelas Suriyanti.

Lebih jauh ia mengemukakan, kondisi petani dan pertanian di Indonesia ini berbeda dengan yang berlaku di beberapa negara maju. Pada negara-negara maju tersebut, kata Suriyanti, petani yang memiliki lahan sawah meskipun sedikit, sangat dihargai oleh pemerintahnya. Kepada para petani itu, pemerintah memberikan subsidi dan sejumlah dana untuk mereka memelihara keberlanjutan lahan sawahnya.

Mengutip Adimiharja 2009 dari Balai Penelitian Tanah Bogor, dijelaskan, pengetahuan dan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap pemeliharaan lahan sawah serta multifungsinya masih rendah. Lahan sawah dipandang hanya sebagai lahan penghasil padi sehingga falsafah pertanian dari sisi lingkungan, ketahanan pangan dan fungsi sosial ekonomi serta budaya yang telah mengakar, kini menjadi terabaikan. Ini juga tercermin dari beberapa hasil penelitian, di mana masyarakat hanya mengenal empat jenis fungsi pertanian, yaitu: 1) penghasil produk pertanian, 2) pemelihara pasokan air tanah, 3) pengendali banjir, dan 4) penyedia lapangan kerja.

Padahal fungsi lahan pertanian bagi kemanusiaan jauh lebih banyak, yaitu penghasil produk pertanian, berperan dalam mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara pasokan air tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati. Bahkan, sudah diidentifikasi ada 30 jenis fungsi pertanian yang bermanfaat bagi masyarakat umum dan perlu terus dilestarikan. Dalam rangka sosialisasi multifungsi pertanian, kini sudah mulai banyak dibicarakan meskipun masih sebatas wacana di kalangan para ilmuwan, peneliti, perguruan tinggi, dan pengamat pertanian. “Sayangnya, para pengambil kebijakan di tingkat pusat maupun daerah, kelihatannya belum banyak mempertimbangkan manfaat multifungsi tersebut dalam menetapkan kebijakan pembangunan pertanian,” ujar Suriyanti.

Karenanya, ia berharap, ada peningkatan kesadaran masyarakat akan berbagai manfaat pertanian yang lestari sangat perlu dilakukan, mengingat saat ini manfaat yang dikenal hanya sebatas lahan pertanian sebagai penghasil bahan pangan dan produk pertanian lainnya. Untuk ini, perlu upaya advokasi dan promosi tentang pentingnya pertanian beserta multifungsinya melalui seminar dan simposium, atau yang lebih luas jangkauannya yakni melalui media cetak dan elektronis. Dalam jangka panjang, sasaran promosi bukan hanya masyarakat umum, tetapi harus mencakup juga para pelajar dan mahasiswa, baik melalui kurikulum pokok maupun ekstrakurikuler.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar