![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTljJz5_ZbeX6qdBFoyy88uRhCPbgqD2qwhdUfiIncjQKAYsnPdjG3GLIRODTsVS1AlYPmZLx1MaCdX06b9R6Y-upL6dpaNmpZ3tHR38jEo7w3XhMr0ZFjSoKfdkZ-dmWjqPljSFAdHgEZ/s320/penjara.jpg)
Perlindungan terhadap hak-hak anak di Indonesia masih memprihatinkan. Butuh koordinasi yang lebih serius antar aparat penegak hukum untuk melindungi mereka. Demikian persoalan yang mencuat dari sosialisasi UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang baru, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Anggota Pokja Penanganan Anak Berhadapan Hukum, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Hj DS Dewi SH MH, dalam acara sosialisasi UU 35 tahun 2009 itu, mengemukakan, hingga saat ini dalam berbagai kasus hukum, masih banyak anak Indonesia yang tidak terlindungi dan terabaikan hak-haknya.
Ia mencontohkan, dalam kasus anak pemulung yang terlibat penjualan narkoba. Bisa jadi, anak yang masih berusia sekolah itu justru menjadi korban dari sindikat penjualan narkoba, bukan pelaku murni. Karenanya, tidak pantas untuk diputus dengan hukum berat. Oleh karena itu, menurutnya, dalam menyikapi UU no 35 tentang narkotika yang baru, perlu sekali adanya rapat koordinasi antara polisi, jaksa dan hakim. “Ini solusi kita mempunyai penafsiran yang sama terhadap implementasi UU No 35 tahun 2009 secara terpadu,” ujar Dewi yang juga seorang hakim seraya menambahkan berbeda halnya kalau anak itu sudah berusia, misalnya 18 tahun. “Pantas dihukum berat kalau terbukti sebagai bandar,” tambahnya.
Dari contoh kasus tersebut, khususnya menyangkut anak berhadapan hukum, dia menginginkan antara penegak hukum ada persepsi yang sama, bahwa tidak semua perkara dapat dijatuhi berupa tindakan. Meski sekarang ini masalah narkoba sudah mewabah, namun sudah saatnya pula kita berpikir menata hukum untuk melindungi hak-hak anak bangsa yang menjadi korban narkoba. “Kalau memang dia bandar, mari kita hajar. Kalau memang dia pengedar, mari juga kita hajar. Tapi kalau pelakunya masih anak-anak, kita harus lebih arif dan bijak mensikapinya,” tutur Dewi.
Mengutip pasal 16 ayat (3) UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, berbunyi: penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak, hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. “Saya lebih sependapat kalau anak yang terlibat narkoba itu masuk panti rehabilitasi,” ujarnya.
Menurut Dewi, dalam penanganan anak berhadapan hukum, aparat penegak hukum tidak semata mengimplementasikan hukum sebagai legal justice, tapi juga harus moral justice dan social justice. Apalagi, Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi konvensi hak-hak anak sejak tahun 1990, dengan keppres No 36 tahun 1990.
Karena sudah meratifikasi konvensi tersebut, maka Indonesia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal-pasalnya, khususnya yang mengatur pemidanaan terhadap anak berhadapan hukum berdasarkan acara persidangan, dengan pendekatan restorative justice. “Ini bagian tidak terpisahkan dari kepentingan terbaik anak dengan menitikberatkan kepada pemulihan kondisi, baik dari segi kejiwaan, tumbuhkembang anak serta kehidupan dan masa depan anak sebagai generasi penerus,” terangnya.
Selain itu, juga sudah lahir instrumen lain, seperti UU kesejahteraan anak, UU pengadilan anak No 3 tahun 1997, UU No 23 tahun 2002 tentang tentang perlindungan anak, UU No 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, UU No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. “Ke semua instrumen hukum itu ada diatur tentang hak hak anak,” kata Dewi sambil mengutip Dirjen Lapas beberapa waktu lalu yang menyebut masih ada 5.760 anak berada dibalik jeruji. Baik masih di dalam proses, maupun yang sudah dijatuhi hukuman. “Ini kan memprihatikan,” ujarnya lagi.
Koordinasi Aparat Penegak Hukum
Karena itu, tegas Dewi, rapat kordinasi secara terpadu antara penegak hukum di Indonesia, mulai dari kepolisian, kejaksaan,dan kehakiman, menjadi sangat penting untuk mencari solusi terbaik buat anak-anak Indonesia. “Mari, kita berdiskusi, tapi bukan berati kita KKN. Tujuan kita adalah menyelamatkan anak bangsa,” tandasnya seraya mengapresiasi Menteri Hukum dan HAM yang akan meminta kepada Presiden memberikan grasi kepada anak-anak.
Dalam acara yang sama, pakar hukum pidana UI, Dr Rudi Satrio SH MH, mengemukakan, UU No 35 tahu 2009 memang menjadi suatu hal yang berbeda dengan UU sebelumnya, dimana secara tegas yang dinamakan dengan korban sama juga dengan seorang pengguna, banyak diberikan kesempatan untuk mendapatkan perlindungan hukum. Artinya dia mendapakan kesempatan untuk direhabilitasi. Karena pengguna indentik sebagai seorang korban, bukan selaku tindak pidana.
Tapi sayangnya, kata Rudi, UU itu tidak secara tegas menyebutkan bagaimana cara korban bisa memakai fasilitas tersebut. Kedua, ia mempertanyakan itu menjadi kewenangan siapa, apakah anak terus harus diproses sampai di pengadilan, setelah selesai baru akan diberikan fasilitas itu?
Menurut Rudi, seharusnya sudah sejak tahap penyidikan sudah dilakukan, artinya tidak perlu menunggu proses-proses berikutnya. Kemudian bagaimana caranya untuk si korban bisa memanfaatkan fasilitas rehabilitasi medis untuk dapat lepas dari ketergantungaannya pada obat-obat narkotika yang ada. “Sudah saatnya pula yang dinamakan pelaku tindak pidana narkotika dipisahkan dari pelaku tindak pidana umum lainnya. Karena umumnya yang terjadi, mereka kembali berdagang narkotika di lembaga pemasyarakatan. Tadinya mereka pengguna, bisa juga kemudian malah menjadi pengedar. Fakta menunjukan demikian,” kata Rudi Satrio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar