Jumat, 02 April 2010

Gerakan Wirausaha Nasional Solusi Atasi Pengangguran


Upaya pemerintah mengurangi jumlah keluarga miskin di Indonesia tidak pernah berhenti dilakukan. Begitupun dalam mengurangi jumlah pengangguran. Namun tampaknya Indonesia masih sulit terbebas dari kemiskinan dan pengangguran tersebut. Mengapa?

Jawaban pasti tidak sesederhana pertanyaan. Sebab, kemiskinan dan pengangguran merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Kemungkinan besar dibutuhkan waktu yang sangat panjang untuk Indonesia benar-benar bisa terbebas dari kemiskinan dan pengangguran. Lihat saja, data tahun 2004 memperlihatkan angka kemiskinan di Indonesia mencapai 36,1 juta keluarga, turun hanya 2,51 persen di akhir Desember 2009 atau menjadi 32,5 juta keluarga.

Pemerintah sendiri kembali menargetkan angka kemiskinan itu akan menurun sebesar 5 persen hingga akhir tahun 2014. Akan tetapi, diakui hal ini masih menjadi pertanyaan besar. Alasannya, seperti diungkapkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Drs HA Muhaimin Iskandar MSi, jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar dengan tingkat pendidikan dan produktivitas rendah, serta terkonsentrasi di perdesaan. Ditambah lagi, peluang kerja formal yang masih terbatas, bahkan adanya mismatch yang lebar antara kesempatan kerja dengan pertumbuhan angkatan kerja. “Selain itu, kondisi kultural dan psikologikal kemampuan untuk berwirausaha juga rendah, sehingga lemah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya,” kata Muhaimin pada Temu Nasional Tenaga Kerja dan Transmigrasi, di Jakarta, baru-baru ini.

Dipaparkan Muhaimin, kapasitas ekonomi dalam menyerap tenaga kerja tanpa gerakan khusus kewirausahaan di Indonesia sangat terbatas. Data menunjukkan, jumlah angkatan kerja 113,83 juta, sedangkan jumlah pengangguran 8,96 juta. Rata-rata jumlah angkatan kerja baru setiap tahun mencapai 1,83 juta, sementara setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 250 ribu orang. Dengan asumsi pertumbuhan 5 persen maka total kemampuan menyerap angkatan kerja hanya 1,25 juta, sehingga jumlah penganggur rata-rata setiap tahun mencapai 580 ribu orang.

Oleh karena itu, menurut Muhaimin, perlu dibangkitkan semangat kewirausahaan dan kemampuan berwirausaha. Untuk menumbuhkembangkan hal ini, maka yang perlu dilakukan antaralain; pemberdayaan masyarakat. Dalam kaitan ini masyarakat diberdayakan untuk mampu melihat potensi diri dan sekitarnya. Mampu melihat dan memanfaatkan peluang, serta memampukan masyarakat dalam permodalan dan manajemen. “Kewirausahaan itu merupakan tindakan kreatif manusia yang dapat menciptakan atau membangun nilai yang bermanfaat, tanpa banyak mengandalkan kepada ketersediaan sumberdaya,” tuturnya.

Meskipun demikian, Muhaimin menegaskan, masyarakat juga perlu merubah mindset, attitude, skill dan knowledge melalui pendekatan teknikal, ekonomikal, psikologikal dan kultural. Teknikal, yakni pembekalan ketrampilan, pengetahuan dan pembentukan sikap. Ekonomikal, yakni proses identifikasi untuk menentukan potensi masyarakat atau daerah yang dapat dikembangkan menjadi kegiatan ekonomi. Psikologikal adalah menumbuhkan dan memotivasi jiwa wirausaha, dan kultural yakni merubah budaya kea rah penghormatan kepada wirausaha setara dengan bekerja di sektor formal.

Lebih jauh Muhaimin menilai, dalam kaitan kewirausahaan untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran ini, maka target grup kewirausahaan yang patut diprioritaskan adalah penganggur dan masyarakat miskin di perdesaan. “Dengan inovasi atau kreasi di perdesaan, maka peluang kerja akan bertambah, menjadikan desa lebi produktif, kemakmuran meningkat, warga betah di desa, dan urbanisasi menjadi terkendali,” ujarnya. “Setelah di perdesaan itu, adalah penganggur terdidik di perkotaan, calon TKI dan peserta magang di luar negeri, buruh atau pekerja, wirausaha di sector formal, dan transmigran atau calon transmigran,” tambahnya.

Pengangguran Terdidik

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koperasi dan UKM, DR Syarif Hasan MM MBA, mengemukakan hal yang tidak jauh berbeda. Menurutnya, gerakan kewirausahaan nasional merupakan satu solusi yang tepat dalam mengatasi pengganguran dan kemiskinan di Indonesia.

Syarif memaparkan, kenyataan dari 8,96 juta pengangguran tahun 2009, sebanyak 4,8 juta atau 53,93 persennya adalah penggangguran terdidik yang berpendidikan sarjana, akademi dan SLTA. “Umumnya, lulusan SLTA (60,87%) dan perguruan tinggi (83,18%) lebih memilih menjadi pekerja atau karyawan (job seeker) dibanding menciptakan kerja (job creator),” urainya.

Lebih jauh kata Syarif, tingginya pengangguran terdidik di Indonesia, disebabkan antaralain, kesenjangan dunia pendidikan dan dunia usaha atau industri; ketidakmampuan lembaga pendidikan menjadikan lulusannya seseorang yang mandiri, yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri; orientasi pendidikan yang kurang menekankan nilai-nilai kemandirian dalam kreatifitas yang merupakan basis kewirausahaan para mahasiswa dan siswa sekolah; serta sistem pendidikan yang menerapkan metode penilaian prestasi kelulusan seringkali hanya terbatas pada penilaian kemampuan academic knowledge, dan cenderung tidak menjadikan lulusannya kreatif menciptakan kemandirian kerja karena kurangnya soft skill.

Nah, dalam rangka mengembangkan jiwa kewirausahaan ini, kata Syarif, kementerian Koperasi dan UKM menginisiasi program 1000 sarjana calon wirausaha atau sarjana enterpreneur di setiap propinsi untuk mengurangi pengangguran di kalangan intelektual sarjana. “Program ini telah disosialisasikan pada 10 Desember 2009 di DKI Jakarta. Kemudian diperluas di 5 provinsi lain, yakni Jawa Tengah, Bali, Jambi, Sumatera Utara dan DI Yogyakarta,” ungkapnya.

Kementerian Koperasi dan UKM juga telah mengembangkan program santri/siswa entrepreneur melalui dukungan Tempat Praktek Ketrampilan Usaha (TKPU) untuk memotivasi tumbuhnya calon wirausaha di kalangan siswa/santri setingkat SLTA. “Telah difasilitasi 814 lembaga pendidikan perdesaan atau pondok pesantren yang melibatkan pelatihan bagi 86.980 siswa agar mampu memahami budaya usaha dan memiliki ketrampilan melakukan usaha mandiri pasca pendidikan,” jelas Syarif.

Selanjutnya, Syarif menegaskan, kedudukan KUKM dalam perekonomian nasional sangat strategis terutama untuk mengatasi masalah pengangguran. Oleh sebab itu, ia berharap, daerah-daerah di Indonesia sangat peduli terhadap KUKM, termasuk di daerah transmigrasi. “Perhatian pemerintah dalam hal ini sudah cukup, meski perlu ditingkatkan lagi,” akunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar